"Sini, kuantar pulang," sahutnya sambil menggamit tanganku. Aku menggeleng. "Tidak usah, biar aku pulang naik angkot saja." Kucoba lepaskan tanganku dari tangannya, tapi kalah kuat dengan tenaganya. "Dan jangan asal sentuh," tambahku, sedikit kesal. "Maaf." Dirinya melepaskan tanganku dari tangannya. Bagus, karena tadi itu cukup sakit. Di tanganku, juga di dadaku. Kupikir, aku tak akan sanggup jika jantungku berdegup lebih kencang lagi. "Ayo, kuantar pulang," sahutnya lagi. Dan lagi, aku menggeleng. "Biasanya juga naik angkot." "Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus terbiasa naik motorku." Nadanya memaksa. Alis mataku berkerut. Sebal. Dia pikir siapa dirinya, mengatur diriku seperti itu? "Tidak mau, nanti aku malah merepotkanmu." Hanya itu yang terpikirkan olehku sebagai alasan yang rasional. Tapi tentu saja, dia punya lebih banyak akal untuk membalikkan alasanku. "Tidak repot, kok," beg...