Bethari (4)
source |
4.
Thari meregangkan tangan-tangannya. Cuaca pagi itu memang lebih
bersahabat dari biasanya. Setelah memastikan bahwa tali sepatunya tersimpul
dengan baik, ia melaksanakan lari paginya. Lari pagi memang rutinitasnya di
hari Minggu. Betisnya sampai berotot. “Seksi,” begitu Thari menyebutnya kalau
ditanya. Padahal, arti sebenarnya dari kata seksi sendiri, Thari belum tentu
mengerti.
Seperti biasa, hari itu dia berniat untuk lari ke pasar kaget yang selalu
digelar pada hari Minggu di dekat perumahannya. Sudah begitu, dia akan membeli
bubur ayam favoritnya di warung milik Mas Obed. Lengkap dengan telur dan cakwe,
Thari tidak sabar untuk segera sampai. Dia mempercepat larinya sedikit.
“Thari!” tiba-tiba sebuah suara memanggilnya. Suara yang sangat familiar
di telinga Thari. Suara yang seharusnya tidak ia dengar di hari Minggunya yang
damai.
Thari menoleh. Benar saja firasatnya. Itu suara Adi!
Thari menghentikan larinya dan berkacak pinggang, menunggu Adi
menghampirinya. Rasanya sedikit menggelikan melihat Adi memakai baju selain
seragam sekolah dan seragam basketnya. Jujur, sekian lama mengenal Adi dekat,
baru kali ini Thari menemuinya di luar kegiatan sekolah. Tidak pernah salah
satu dari mereka berinisiatif untuk mengajak satu yang lain jalan-jalan. Padahal,
keduanya cukup suka outing. Tidak ada
kerjaan di rumah, begitu kata Thari. Tidak betah di rumah, begitu ucap Adi.
Keduanya memiliki alasan tersendiri yang sebenarnya sama-sama kurang rasional.
“Uh… hei Adi,” sapa Thari ragu begitu Adi berdiri di hadapannya.
Adi mencibir. “Kamu kayak gak mau ketemu aku aja, Thar.”
Thari hanya mengangkat bahu lalu melanjutkan larinya. Adi, mau tak mau
harus berlari juga. Padahal, sepertinya Adi sudah berlari jauh sekali melihat
banyaknya keringat yang bercucuran di tubuhnya.
“Aku baru pertama kali lihat kamu di sini,” Adi kembali berbicara begitu berhasil
mengimbangi lari Thari. Perlu diakui bahwa Thari berlari dengan sedikit cepat.
“Hmm… aku juga,” Thari menjawab sekenanya. “Padahal hampir tiap Minggu
aku lari ke sini, lho.”
“Hah...?” Adi tak mampu menyembunyikan herannya. “Aku juga! Biasanya aku
makan di warung bubur ayam sebelum pulang.”
“Bubur ayam? Kebetulan, aku juga mau beli bubur ayam habis ini. Itu tuh,
di warungnya…”
“Bang Santo!” Adi memotong perkataan Thari.
Thari menggeleng. “Sok tahu. Warungnya Mas Obed, lagi. Setahuku cuma Mas
Obed, lho, yang buka warung bubur di sini. Baru pertama kali, tuh, denger sama yang namanya Bang
Santo.”
“Idiiih, masa gak pernah denger?” tanya Adi meremehkan. “Payah kamu.
Buburnya paling enak di daerah sini, tau.”
Thari menatap sinis Adi dan mendengus. “Aku setia sama Mas Obed.”
Adi tergelak. Adi tidak bisa membayangkan sosok Thari bergelayut manja
pada tukang bubur yang tampangnya bagaimana saja tidak Adi tahu. Tapi, bukan
itu masalahnya. Bayangan Thari jatuh cinta saja sudah membuat Adi tertawa
terbahak-bahak, apa lagi Thari yang bersikap manja? Wah, kiamat namanya!
Sekian lama mengenal Thari, Adi tahu bahwa gadis itu tidak pernah pacaran
sekali pun. Gadis itu tak mengerti cinta. Rasanya kasihan sekali cowok-cowok
yang menyukainya. Dimulai dari Amadis, Agung, Adzka… sampai Adi.
Adi sebenarnya sudah suka pada Thari sejak pertama kali melihatnya
disetrap di lapangan. Cara yang kurang elegan untuk jatuh cinta, memang. Tapi,
hei, cinta memang selalu datang tiba-tiba, kan?
Saat itu, Thari dengan cueknya berdiri tegak sambil hormat pada tiang
bendera sekolah. Ransel birunya yang kelihatan berat itu masih digendongnya.
Cengiran terpampang di wajahnya, seakan ia tidak merasa bersalah sama sekali. Well, dia memang tidak merasa bersalah.
Tidak, tidak sama sekali. Kedua orang tuanya tidak ada di rumah. Ibunya harus
menengok mertuanya yang sakit, dan Ayah Thari memang hampir tak pernah di rumah
(karena urusan pekerjaan, tentu. Ayah Thari adalah seorang gentleman). Entah ada angin apa, Dewi juga kebetulan sakit. Jadi
pagi itu, Thari harus berepot ria merawat Dewi sebelum pergi berangkat. Dan di
tengah perjalanan pun, ban sepedanya bocor…. Klise, memang. Saking klisenya,
para guru tidak mempercayai alasan Thari.
Adi, seperti murid-murid lain yang penasaran, diam-diam memperhatikan
Thari dari koridor. Namun, ketika teman-temannya sudah bosan dan kembali ke
kelas, Adi bertahan lebih lama. Tersenyum-senyum sendiri melihat Thari yang tetap
berdiri dengan cengirannya meski tangannya sudah mulai pegal.
Dimulai dari situ, mata Adi mulai mengikuti Thari. Mencari-cari orang
yang waktu itu berdiri di lapangan sambil memamerkan cengiran kudanya. Awalnya
hanya iseng saja. Namun ternyata, tanpa sadar Adi mulai terpikat pada gadis yang
awalnya namanya pun tak ia tahu. Bethari Anjali. Adi harus bertanya pada
guru-guru untuk mengetahui namanya. Bethari Anjali. Bethari Anjali.
B-e-t-h-a-r-I A-n-j-a-l-i. Nama yang jarang.
Gadis itu “transparan” bagi Adi. Dengan hanya memperhatikannya dari jauh,
Adi tahu semua sikapnya. Gadis itu ceria (Adi tahu karena Thari tetap tersenyum
meski sedang dihukum), keras kepala (Adi tahu karena Thari pernah memperebutkan
sebuah cireng dengannya dan Adi terpaksa mengalah), suka membaca buku (Adi tahu
karena tanpa sengaja Thari ingin meminjam buku ensiklopedia yang hendak
dipinjamnya), dan tidak ragu untuk mengeluarkan pendapatnya (Adi tahu karena ia
pernah menabrak Thari dan Thari mengeluh kesakitan—sebenarnya Adi tidak begitu
tahu ia harus berbuat apa saat itu, pada akhirnya Adi hanya mengatakan maaf
sebelum pergi berlalu). Satu tahun lebih ia memperhatikan Thari, namun belum
pernah ia berniat untuk mengajaknya berkenalan. Padahal, begitu banyak
kesempatan mereka untuk berkenalan.
Sebenarnya, Adi tidak ada masalah berbicara dengan perempuan. Tampangnya termasuk
tipe yang digemari perempuan kebanyakan, justru. Entah sudah berapa perempuan
yang ditolaknya. Alasan pertama: dia tidak mau pacaran. Alasan kedua: dia tidak
suka dengan perempuan itu. Alasan ketiga: Thari. Tapi, tentu saja Adi tidak
pernah mengakui adanya alasan ketiga. Itu rahasia yang hanya diketahui oleh
sisi-melankolis-Adi dan Tuhan.
Mungkin karena dirinya biasa dikejar-kejar perempuan, Adi tidak tahu harus
bagaimana ketika ia harus mengejar Thari. Padahal, kenal saja tidak. Tapi keisengan
Adi sudah terlalu serius. Matanya mulai selalu mencari-cari sosok Thari dan
mengikutinya sampai sosok itu menghilang dari pandangan.
Saat itu, Adi mengerti mengapa teman-temannya berkata bahwa cinta itu
gila.
Comments
Post a Comment