Bethari (3)


source
 3.

Adi. Rambutnya dirancung-rancungkan, membuat jambul yang menambah tingginya satu-dua centi. Perilakunya ramah dan suaranya renyah. Setiap hal yang dikatakannya sepertinya selalu bisa mengundang tawa meski tidak jelas apa yang lucu. Kalau Thari disuruh mendeskripsikan Adi dalam satu kata, “karismatik” lah yang akan Thari pilih. Dan Adi, pasti akan melambung merasa dirinya paling hebat sedunia. Makanya, Thari tidak akan pernah mengatakannya di depan Adi. Tidak sudi.

Sebenarnya, Thari tidak sadar sejak kapan semuanya dimulai. Entah sejak saat istirahat di hari Senin itu, atau esoknya, atau esoknya lagi, tapi Adi mulai selalu menjahilinya. Seperti tidak ada korban lain, Adi selalu menjahili Thari seperti pecandu yang tak bisa melepaskan adiksinya. Mungkin bagi Adi, Thari adalah seseorang yang reaksinya terlalu menarik untuk tidak dijahili. Dan mungkin bagi Thari, Adi adalah titisan setan tidak jelas dari neraka kekejaman. Hubungan mereka benar-benar disfungsional sampai-sampai Thari sendiri bingung kenapa mereka bisa memiliki relasi yang sangat aneh.

Tapi, Thari tidak begitu ambil pusing. Perlahan-lahan, Thari mulai menikmati setiap perseteruannya dengan Adi. Bahkan, itu menjadi salah satu hal yang paling Thari nanti-nantikan di sekolah.

Sampai suatu hari, Dewi menanyakan hal yang menggelikan. Saking gelinya, rasanya Thari bisa mati karena tertawa.

“Kamu suka sama Adi, ya?”

Perlu beberapa detik bagi Thari untuk mencerna apa yang Dewi maksud. Dia, sebagai seorang Thari, tentu saja merona tanpa kendali dan membuka tutup mulutnya. Lalu, bukannya memberikan jawaban yang jelas, Thari malah tertawa. Awalnya hanya dengusan, tapi lama-lama menjadi tawa yang keras dan lama sekali. Sampai-sampai Dewi harus memukul Thari keras agar berhenti.

Thari kembali duduk tegak dan menghadap Dewi. “Oh ya Dew, tahu jawaban soal yang ini, gak?” tanyanya sambil menunjukkan PR matematikanya.

Dewi menghela napas panjang. Ia tahu benar Thari. Dia senang sekali menghindari topik sensitif seperti itu dengan cara mengalihkan pembicaraan tanpa sadar. Tapi Dewi berpura-pura tidak tahu. Ia mengajarkan Thari dengan sabar. Walau ada beberapa waktu saat mata kirinya berkedut kesal. Kadang, Dewi tak percaya bahwa dirinya adalah adik kembarnya Thari. Rasanya, dirinyalah yang lebih pantas jadi kakak. Meskipun hanya beda beberapa menit…. Dewi sedikit sensitif tentang hal ini.

Dewi, terlahir sepuluh menit setelah Thari, adalah pribadi yang pendiam. Lembut, sih, tidak. Justru, Dewi bisa disebut lebih kasar daripada Thari. Hanya saja, Dewi bisa melihat situasi dan kondisi dengan baik sehingga tahu harus berbuat apa dan bagaimana dengan tepat. Dia tidak sekelas dengan Thari, tapi masih satu sekolah. Hanya beda kelas dan lantai saja. Thari, sebagai murid di kelas XII IPA C, melakukan sebagian besar kegiatan sekolahnya di kelas yang berada di lantai atas. Sementara Dewi harus melaksanakan kegiatan belajarnya di kelas XII IPA G yang gelap di lantai bawah. Dewi tidak terlalu suka, sebenarnya. Diam-diam, Dewi tidak suka gelap. Itulah sebab utama mengapa lampu kamar Dewi selalu menyala di malam hari.

Tahu darimana Dewi tentang Adi, itu karena Adi sekelas dengannya dua tahun berturut-turut. Kelas satu dan dua SMA, mereka selalu sekelas. Tapi toh, apabila Dewi tak pernah sekelas dengan Adi, Dewi akan tahu Adi juga. Cowok itu merupakan salah satu cowok paling eksis di sekolahnya. Setereotipe, menurut Dewi. Dari ketua kelas saat kelas X, lalu ketua ekskul basket, sampai kandidat ketua OSIS—semua jabatan yang memungkinkan seseorang menjadi populer ia geluti satu-satu. Rasanya sedikit aneh bagi Dewi bahwa Thari baru mengenal Adi tahun ini. Padahal, namanya diperbicarakan dimana-mana. Intinya, Adi itu semacam idola di SMA mereka.
Namun yang lebih aneh lagi bagi Dewi adalah bahwa Adi baru mengenal Thari tahun ini. Padahal jelas-jelas Thari saudara kembarnya. Hampir semua yang mengenal Dewi tahu bahwa Thari adalah saudara kembarnya, begitu juga sebaliknya. Dewi hanya bisa menyimpulkan dua:
1. Adi itu terlalu jaim—jaga image; atau
2. Thari ternyata lebih kuper dari dirinya.
Namun, mengingat kakak kembarnya yang ekstrovert itu, rasanya alasan yang pertama lebih masuk di akal.

Setelah PR matematikanya selesai, kembali Dewi mengulang pertanyaannya. Dewi hanya berharap kalau Thari tidak akan tertawa lagi.

“Kamu suka sama Adi, ya?”

Kali ini, Thari tidak memerlukan beberapa detik untuk mencerna apa yang dimaksud Dewi. Tidak juga merona dan membuka tutup mulutnya, karena sepertinya Thari sudah tahu bagaimana dirinya akan menjawab. Bukan kata “iya” maupun “tidak”, tapi….

“Dew, kamu sakit, ya?”

Mata kiri Dewi berkedut untuk yang kesekian kalinya. Ia menyerah. Setelah menatap Thari dengan tampang yang tidak bisa dijelaskan, ia pergi meninggalkan saudara kembarnya sendirian di ruang tamu.

Mission failed.

Comments

Popular posts from this blog

boneforable (part 1)