Sekrup Emas
Kalau boleh.
Kalau.
…
Satu.
Dua.
Dua.
Tiga.
…
Tidak berjalan.
Lagi, kembali diputar.
Sekrup emas milikku.
Tapi, tak ada yang berubah.
…
Aku tak boleh percaya.
Meski bukti sudah di depan mata, aku tak boleh percaya.
Karena aku baru melihatnya, bukan merasa.
Takdir yang tertulis di garis tanganku adalah kebutaan.
Sementara apa yang kulakukan sehari-hari hanyalah
kebisuan.
Tersenyum, menanis, dan amarah merupakan keheningan.
Karena terus memasang topeng, aku bisa
tertawa—menertawakannya.
Tapi apa yang sebenarnya kurasa?
…
Kalau bisa meminta kesempatan kedua, aku mungkin tak akan
mengambilnya.
Karena aku adalah aku, apa yang aku lakukan di masa lalu
membuatku seperti ini.
Menikmati mimpi yang sementara, terus berjalan di antara
tuts-tuts kehidupan.
Mencoba melompat, tapi akhirnya jatuh terperosok.
Menari, dan ujung-ujungnya aku menabrak tembok karena
tidak melihat ke arah mana aku berlari.
Langit yang sama, awan yang sama, matahari yang sama.
Aku akan selama-lamanya menghirup udara yang sama denganmu,
menginjak bumi yang sama denganmu.
Meski jauh di hati, meski jauh di mata.
Tapi kalau tentang itu, pasti bisa.
Kalau mata indahmu tersenyum.
Kalau bibirmu melengkung imut.
Kalau pipimu bersemu merah.
Apa hal akan sama?
Kalau aku mati.
Atau pun hidup.
Dan tak pernah bertemu denganmu.
Apa hal akan sama?
Seiring aku membuka lembaran buku yang baru, aku semakin
tidak menyukainya.
Tidak, tidak seperti yang aku inginkan.
Harus bisa mengubahnya.
Harus.
Harus bisa seirama.
Harus bisa bersama-sama.
Naik.
Turun.
Naik.
Turun.
Naik.
Turun.
Ayunan yang kita mainkan pada saat dulu, kini mungkin
sudah tak ada.
Tapi, aku masih bisa merasakan hembusan anginnya.
Masih terasa bekas tanganmu mendorong punggungku.
Kehangantan tanganmu masih tersisa.
Dan aku tak bisa mendinginkannya.
Payung.
Aku butuh payung.
Bukan untuk hujan, hari ini hanya berawan.
Tapi untuk menutup wajahku.
Aku malu.
Tidak, mungkin aku tidak mau.
Tapi hanya, ya, malu.
Aku akan menyesal.
Aku yakin itu.
Tapi karena aku belum merasakannya, aku tetap
melakukannya.
Padahal, manusia biasa sepertiku pasti tidak akan pernah
mau merasakan penyesalan.
Kata-kata tersangkut di tenggorokanku.
Susah, susah.
Aku tak tau harus bagaimana.
Sekali lagi, sekrup emasku diputar.
Tidak, sekrup emasku takkan pernah berkarat.
Tapi sekrup ini hanya berputar, tidak berjalan.
Melodi mengalun dari kotak musik.
Indah.
Tapi menyakitkan.
Karena aku tahu, melodi itu hanya menertawanku.
Meski kita bersama, kau tidak menemani.
Kau hanya ada.
Ada di sampingku.
Bukan di sisiku.
Kau hanya menyentuh tanganku.
Bukan memegang tanganku.
Aku tidak ingin digiring, tahu.
Aku ingin seiring.
…
Dan lagi, sekrup emasku diputar.
Comments
Post a Comment