Reuni

Aku ingat dia. Agung, namanya. Berdiri tegap di sampingku, dengan rambut kelimisnya berantakan belum disisir. Senyumnya masih manis, tidak jauh berbeda dengan saat terakhir kali aku melihatnya. Tapi, debaran jantung yang dulu selalu kudapat ketika berdekatan dengannya kini sudah tidak ada.

"Hai," sapanya.

"Halo, Gung."

Kusisipkan sebagian rambut di belakang telinga kiriku, memamerkan anting plastik yang pasangannya sudah hilang tak tahu ke mana. Mata Agung menunjukkan kalau dia terkejut, tapi senyumnya terus di sana. Seakan-akan tersenyum adalah wajah default-nya yang tidak bisa diganti lagi. Dan aku, dulu sangat suka dengan senyumnya itu.

"Ajeng," dia panggil namaku, rasa rindu sedikit tersirat dari nadanya. Tapi aku hanya bisa tersenyum, tidak tahu benar harus bersikap bagaimana. Rasanya, sudah lama sekali aku tidak dipanggil dengan penuh kasih sayang begitu. "Sudah lama, ya." Ah, aku rindu suara rendahnya yang nyaris serak itu.

Aku mengangguk. "Sudah benar-benar lama, sejak ceritaku kandas waktu itu."

Tidak pernah kumaksud untuk menyindirnya, tapi dia memasang tampang bersalah. "Ma--"

"Apa kau menyesal?" Kupotong ucapannya. Tidak mau kudengar kata sakral itu darinya, karena bukan dia yang salah.

Dia memandang jauh, ke horizon laut yang hening. Mencari-cari sesuatu yang tidak bisa kumengerti. Alisnya berkerut, membuatku gemas untuk merapikannya. "Entahlah." Dari dulu, aku tidak pernah benar-benar mengerti dia. Waktu itu, juga.

Kupandang juga laut yang sejak tadi bisu. Kalau dia bisa bicara, apa dia akan memarahi kami yang bodoh ini? Aku tak akan pernah tahu jawabannya.

Yang aku tahu hanyalah masa lalu tidak bisa diubah. Itu saja.

"Tapi," ujar Agung dengan hati-hati, "waktu itu aku benar-benar menyukai Wulan."

Aku bersyukur tidak kupandang matanya, karena aku yakin dia memandangku sekarang. Kupikir, aku tidak akan sanggup jika dia berkata begitu sambil memandang mataku. Aku yang kata Agung 'transparan' ini akan terlihat jelas kecewa.

Dulu, aku sering berandai-andai. Andai kata aku bernama adalah matahari yang bersinar jauh lebih terang daripada bulan, apa waktu itu dia akan tetap menyukaiku? Andai kata aku dulu tidak berpura-pura sedemikian rupa, apa waktu itu dia tidak akan meninggalkanku? Tapi, itu dulu.

Aku tersenyum pada langit. "Waktu itu, aku juga benar-benar menyukaimu." Kucuri pandang ekspresinya, dan senyum itu masih ada di situ.

Angin menghembus sepoi-sepoi di saat yang tepat. Aku tidak bisa berhenti berpikir bahwa kami seperti sedang berada dalam roman picisan saja. Begitu romantis dan dramatis. Bedanya, Sang Heroine tidak berakhir dengan Sang Hero. Atau mungkin, sejak awal, aku bukanlah seorang  heroine yang nyata. Mungkin, sejak awal diriku hanyalah seorang karakter tambahan di kisah Agung dan Citra, seorang tambahan untuk meramaikan suasana. Seperti orang ketiga yang berniat untuk menghancurkan hubungan mereka.

Aku tersenyum. Kulepas anting plastik di telinga kiriku. "Ini, kukembalikan."

Agung menerimanya, dengan senyum yang terus tertempel di wajahnya. "Terima kasih, untuk semuanya."

"Terima kasih kembali."

Comments

Popular posts from this blog

boneforable (part 1)