Pesawat Kertas
“Kenapa kamu suka banget sama
pesawat kertas, sih?”
Si Gadis bersandar di kursi lipatnya. Menengadahkan kepalanya ke lampu yang tidak menyala. Memejamkan matanya dengan begitu rapat seakan jika ia berani membukanya, ia hanya akan melihat apa yang tidak ingin ia lihat.
Orang dalam mimpinya sering berkata begitu. Setiap kali muncul dalam mimpi Si Gadis, orang itu tak pernah lupa untuk berjanji membawanya pergi dari dunia kecil miliknya. Membawanya pergi ke mana, Si Gadis dulu tak pernah tahu. Kemarin malam, orang itu muncul lagi dan berkata,
Dan Si Gadis tahu benar bahwa itu adalah sebuah pertanda.
Dalam mimpi, mereka berada di tempat yang tinggi. Tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Langitnya malam, dan jutaan bintang berkelap-kelip di sana. Seperti glitter yang sempat Si Gadis gunakan saat pelajaran kerajinan tangan di masa SD.
Pertanyaan itu lagi. Si Gadis
hanya tersenyum mendengarnya. Rasanya sudah seriiiiing sekali pertanyaan itu tedengar.
Yah, bukannya Si Gadis bosan atau apa, tapi…. Oke, harus diakui bahwa Si Gadis
sudah cukup bosan mendengar pertanyaan itu.
Si Gadis menjawab acuh tak acuh sambil
terus melipat kertasnya, “Pesawat kertas kan memang bagus.”
“Kalau pesawatnya terbang dengan
bagus, sih, iya. Lha, pesawatmu? Cuma terbang sebentar, lalu jatuh ke bawah,”
timpal lelaki di depannya.
“Memangnya Kakak maunya jatuh ke
mana? Ke atas?” balas Si Gadis kesal. “Lagian, pesawat kertas kan terkenal.
Buktinya ada lagunya, pesawat kertasku kan melaju~”
“Itu, sih, perahu kertas, dodol.”
Si Gadis terkekeh, sebelum
akhirnya berdiri dengan pesawat kertas di tangannya.
“Lagi?” tanya lelaki itu—orang yang dipanggil
Si Gadis dengan sebutan “Kakak”—sambil membukakan jendela lebar-lebar.
“Kepo,” tanggap Si Gadis asal. Meskipun
begitu, Si Gadis berjalan mendekati Si Lelaki dan mengambil ancang-ancang untuk
menerbangkan pesawatnya.
Kakanya tersenyum. “Sama-sama.”
Setelah pesawat kertas itu lepas
landas, keduanya bisa melihat bahwa pesawat terbang itu terbang dengan
terseok-seok sebelum akhirnya jatuh ke selokan. Si Lelaki tidak bisa menahan
tawanya—meski tawa renyahnya itu segera terhenti begitu Si Gadis memukulnya,
tepat di perut.
“Kamu tuh malah nyampah, tau,”
omong Si Lelaki begitu rasa sakitnya mulai hilang. “Udah tau di sini banyak
banget sampahnya, eh, kamu malah nambah. Gimana gak banjir?”
Mendengarnya, Si Gadis hanya bisa
tersenyum sinis. “Bukan urusanku.”
Si Lelaki menghela napas. Sudah
dia perkirakan bahwa gadis di depannya ini akan berkata begitu. Cuek—atau
mungkin lebih tepatnya, tidak peduli—adalah sifat Si Gadis. Bertahun-tahun
mengenalnya, Si Lelaki tak heran jika Si Gadis tidak begitu punya banyak
teman. Aah, bahkan Si Lelaki pun masih
ragu, apakah dirinya adalah seorang “teman” atau hanya seorang “kenalan”—atau bahkan
“orang asing”.
“Kak, HPmu,” kata Si Gadis,
memecahkan lamunannya, sambil menunjuk kantong celana Si Lelaki.
Dengan sigap, Si Lelaki mengambil
HP itu dan melihat pesan yang datang. “Aku akan kemari lain kali,” ucap Si
Lelaki sambil memasukkan kembali HPnya. “Sudah sore.”
Si Gadis memutar matanya dan tertawa.
Tentu saja dia tahu itu hanyalah alasan. Dan tentu saja Si Lelaki tahu bahwa Si
Gadis tahu. “Tidak usah datang lagi juga tidak apa,” ucap Si Gadis pahit.
“Ah, aku yakin kamu akan bunuh
diri kalau aku tidak datang.”
Si Gadis tertawa lagi.
“Sampai jumpa.”
“Daah.” Si Gadis melambaikan
tangannya.
Si Lelaki tidak membalas lambaian
itu dan segera menghilang setelah pintu tertutup. Akhirnya, batin Si Gadis sambil tersenyum lega. Seketika postur
tubuhnya menjadi lebih rileks ketika dia bersandar pada daun jendela. Dilihatnya
lembayung di langit. Indah. Sudah
berapa kali dia melihat pemandangan ini, rutinitas seperti ini? Menghela napas
bosan, Si Gadis menutup jendela kayu dan kembali ke tempat duduknya.
Dilihatnya mejanya yang
berantakan. Tumpukan kertas di mana-mana. Pensil-pensil yang tak sempat diserut
karena memang tak punya alatnya. Ah, pikir Si
Gadis, aku selalu lupa untuk minta
dibelikan pengserut. Si Gadis melirik pisau kecil miliknya yang sarungnya
entah di mana. Diambilnya salah satu pensil tumpul dan dikikisnya ujung pensil
tersebut secara hati-hati. Si Gadis mengerang kecil ketika pisaunya melukai
tangannya secara tak sengaja. Sudah sering kali Si Gadis melakukan hal ini,
tapi tetap saja tangannya tak pernah bisa terhindar dari pisau itu. Banyak
sekali luka gores di tangannya. Nanti
pasti Kakak marah-marah lagi, batin Si Gadis.
Memori Si Lelaki mengobati
luka-lukanya sambil memarahinya terputar di kepala Si Gadis.
“Kenapa bisa luka?! Kau tidak hati-hati lagi, ya? Sudah berapa kali
kubilang, kau harus lebih hati-hati!”
Si Gadis mendengus. Dia sudah
hapal semua perkataan yang nanti akan dikatakan oleh Si Lelaki. Dan nanti, dia
akan memberikan respon yang sama.
“Cerewet. Cepat, obati lukaku seperti biasanya.”
Pertama-tama, Si Lelaki akan
mengeluarkan obat merah dari tas “ajaib”nya. Lalu, dengan hati-hati dia akan
meneteskan obat itu pada luka Si Gadis. Nanti, Si Gadis akan sedikit mengerang
kesakitan. Setelahnya, baru Si Lelaki menempelkan plester luka dengan cermat
di luka Si Gadis. Sudah berapa kali hal ini terjadi? Nanti pun, jika Si
Lelaki datang dan menyadari Si Gadis terluka, hal ini akan terjadi lagi. Si
Gadis sampai hapal.
Saat pensilnya sudah cukup tajam,
Si Gadis meletakkan pisaunya di meja dan mengambil kertas kosong terdekat. Dia
menulis sesuatu. Ngomong-ngomong, Si Gadis senang menulis. Dari segala hal yang
ada di muka bumi yang bisa dijadikan sebagai hobi, Si Gadis memilih menulis.
Setelah membuat pesawat kertas, tentu.
Si Gadis sangat senang menulis. Menulis
tentang apa saja. Dirinya tahu, dirinya bukanlah seorang komunikator yang baik.
Oleh karena itu, dia lebih suka menulis dibandingkan bicara. Setiap kata yang
dipintalnya dengan pensil terdengar berkali-kali lebih cantik. Dan kata cantik
bukanlah sesuatu yang ia rasa cocok dengannya. Karena itu, dia tidak pernah
memberitahu siapapun tentang hobinya yang satu ini. Termasuk Si Lelaki.
Tidak akan pernah.
Si Gadis menghela napasnya. Tentu
saja, dia tidak akan memberitahu siapapun kalau dia senang menulis. Terutama Si
Lelaki. Baginya, karya tulisannya adalah saksi bisu semua perasaannya yang
tidak bisa ia ungkapkan secara lisan. Kupas habis semua yang terpendam. Hati yang
memegang erat semua perasaan yang tertanam dalam-dalam.
Si Gadis menghela napasnya lagi.
Sudah berapa kali dia menghela napasnya hari ini? Mendengarnya saja, sudah
membuat Si Gadis sendiri kesal. Si Gadis membaca ulang karya tulisnya yang baru
selesai.
“Menyebalkan.”
Setelah bergumam begitu, dia melipat
kertas itu menjadi pesawat kertas. Menerbangkannya tanpa arah. Melihatnya jatuh
dengan pelan setelah menabrak langit-langit kamarnya yang rendah.
Si Gadis bersandar di kursi lipatnya. Menengadahkan kepalanya ke lampu yang tidak menyala. Memejamkan matanya dengan begitu rapat seakan jika ia berani membukanya, ia hanya akan melihat apa yang tidak ingin ia lihat.
Bosannya.
Berusaha dengan keras untuk tidak
mengingat apa-apa.
Berusaha dengan teramat keras
untuk melupakan semuanya.
Berusaha dengan terlalu keras
untuk meyakinkan dirinya bahwa pilihannya adalah benar.
Dia akan pergi hari ini.
Akhir-akhir ini, seseorang yang
tampaknya familiar dengannya menyelinap dalam mimpi-mimpinya. Si Gadis tidak
tahu benar siapa orangnya, tapi Si Gadis ingat dia memiliki hubungan yang cukup
dekat dengan orang itu. Sering kali Si Gadis melihat sosok mudanya dalam
pelukan orang itu, dengan pandangan orang ketiga. Di mimpi itu, Si Gadis
tertawa dengan lepas sambil bermanja-manja sementara orang itu tersenyum manis.
Dunia seakan milik berdua. Si Gadis sampai jijik. Ah, tapi daripada “jijik”,
mungkin kata “iri” lebih cocok, ya….
“Aku akan membawamu pergi.”
Orang dalam mimpinya sering berkata begitu. Setiap kali muncul dalam mimpi Si Gadis, orang itu tak pernah lupa untuk berjanji membawanya pergi dari dunia kecil miliknya. Membawanya pergi ke mana, Si Gadis dulu tak pernah tahu. Kemarin malam, orang itu muncul lagi dan berkata,
“—Besok aku akan menunggu di sini….”
Dalam mimpi, mereka berada di tempat yang tinggi. Tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Langitnya malam, dan jutaan bintang berkelap-kelip di sana. Seperti glitter yang sempat Si Gadis gunakan saat pelajaran kerajinan tangan di masa SD.
Awalnya, Si Gadis tidak begitu
mengerti apa yang orang itu maksudkan dengan “di sini”. Mungkin yang orang itu
maksud adalah tempat yang seperti itu. Tapi, mana Si Gadis tahu ada tempat yang
seperti itu di daerahnya tinggal? Keluar dari kamarnya saja jarang sekali.
Namun setelah dipikir-pikir lagi, tempat seperti itu ada. Dekat sekali, malah.
Si Gadis menegakkan tubuhnya.
Setelah berkata “Aku akan pergi hari ini” pada dirinya beberapa kali untuk
meyakinkan diri, dia beranjak dari kursinya. Memasukkan semua pesawat kertas
miliknya ke kresek sampah hitam besar. Membuang bekas-bekas makanan instan ke kresek yang
berbeda. Menata seprai di tempat tidur tanpa bantal, guling, maupun selimutnya.
Menyapu benda-benda kecil seperti kerikil yang entah kenapa ada di kamarnya.
Merapikan kamarnya hingga seperti sebelum dia tinggal di sini. Meninggalkan
barang-barang pribadi sesedikit mungkin.
Ketika ikat rambut yang selama
ini menguncir kuda rambut Si Gadis dilepaskan, rambut yang entah-sudah-berapa-lama-tidak-ia-cuci
jadi terurai berantakan. Diambilnya kedua kresek sampah, lalu perlahan-lahan
membuka pintu kamarnya dengan kaki sebelum menutupnya kembali. Di mejanya yang
kini sudah rapi, sebuah pensil tajam dan pensil-pensil tumpul berjejer dari
yang paling tinggi ke yang paling pendek. Di sampingnya, terdapat kertas yang
sudah dilipat menjadi pesawat kertas. Terlihat nama Si Lelaki di salah satu sayapnya. Tulisan Si Gadis yang rapi itu terlihat sepi.
Malam sudah begitu larut ketika
Si Gadis membuang kresek-bekas-makanan-instan ke tempat sampah umum di lantai
bawah. Ketika dia melihat langit yang hitam, hanya ada bulan purnama yang
berada di sana. Tidak ada bintang sama sekali.
Tapi, Si Gadis sudah membulatkan
tekadnya. Dijinjingnya keresek berisikan puluhan pesawat kertas miliknya. Perlahan
ia naikki tangga spiral yang ada di sebelah bangunan tempatnya tinggal. Karena lantai
dua tempat kamarnya berada bukanlah apa yang Si Gadis tuju, maka dia terus
menaikinya hingga sampai di lantai terakhir sebelum atap. Dari sana, Si Gadis merasakan
angin yang mengusir panas seakan mendorongnya ke bawah. Ditatapnya kucing
mengeong di jalanan aspal. Kalau jatuh, sakit tidak, ya?
Si Gadis menggeleng. Aku akan berangkat sekarang, batinnya. Aku harus berangkat sekarang.
Setelah menemukan jalan untuk
mencapai atap beton tempatnya tinggal, Si Gadis mendapati seseorang telah
mendahuluinya. Seorang anak kecil yang sedang berdiri terlalu dekat dengan
terali pengaman. Seorang anak kecil yang menatap jalanan aspal—mungkin juga
mengamati kucing yang ada di sana—dengan begitu serius. Si Gadis bisa
melihatnya gemetar.
“Kalau berdiri di situ, bahaya,
lho,” sahut Si Gadis.
Sebelum berangkat, mungkin ada baiknya memperingati bocah bodoh ini
untuk tidak menyia-nyiakan hidupnya. Tidak rugi, kan? Tunggulah sebentar lagi.
Aku akan berangkat setelah ini. Aku akan terbang.
Apa kamu suka pesawat kertas juga? |
Comments
Post a Comment