Bethari (1)
source |
1.
“Ri, ingat, ya. Adi itu cuma salah seorang.
Jangan kamu terpaku sama satu. Lagian kamu masih kelas tiga SMA. Perjalananmu
masih panjang.”
Perlu beberapa detik bagi Thari untuk mencerna
apa yang ibunya maksud. Tadi itu terlalu tiba-tiba, dan Thari tidak sempat
menenangkan dirinya hingga pipinya merona di luar kendali.
Hari ini malam, dan cuaca sedikit panas. Mungkin besok pagi akan hujan, pikir
Thari. Pintu depan dibuka lebar-lebar, membiarkan angin menghembus masuk ke
ruang tamu rumah Thari. Ia sedang mengerjakan PR biologinya disana, saat ibunya
tiba-tiba berkata sesuatu yang bagi Thari absurd. Sangat absurd. Ditulis dengan huruf miring untuk penekanan.
Thari melotot pada ibunya yang sedang cuek
membaca majalah di belakangnya. Entah tahu dari mana ibunya tentang Adi. Pasti Dewi yang mengadukan, batin Thari
kesal. Kembarannya yang satu itu, sepertinya memang perlu disumpal mulutnya.
Meski harus diakui bahwa Dewi jauh lebih pendiam, tapi justru itu yang
membuatnya menyeramkan. Kalau Dewi berbicara, yang keluar dari mulutnya pasti
hal-hal yang tidak enak didengar. Dewi si Mulut Maut, begitu Thari
menjulukinya. Padahal, Dewi hanya kelewat jujur saja.
“Hm?” gumam ibunya setelah beberapa saat
dipandangi Thari. Ia masih memusatkan seluruh perhatiannya pada novelet yang
ada di majalah itu (Thari sih tidak
suka; “Terlalu menye-menye,” katanya).
“Ada apa?” tanya ibunya kalem.
Thari hanya bisa menghela napas melihat
reaksi tenang ibunya. Ia tidak boleh kalah tenang dengan ibunya. Aura
ketenangan yang selalu dipancarkan oleh ibunya itu sering kali membuatnya ragu
apakah dirinya benar-benar anak ibunya. Thari tidak bisa tenang begitu. Hal
sekecil apa pun bisa membuatnya merona dengan mudah. Kalau sudah begitu,
biasanya mulutnya akan membuka-tutup seakan ingin berkata sesuatu, tapi semua
kata-katanya hilang ditelan udara.
Ini yang membuat Adi senang sekali
menjahilinya. Thari, dengan segala kekanak-kanakannya, tentu saja membalas
kejahilan Adi. Duh, seorang Bethari Anjali,
pasrah saat dijahili? Tidak mungkin! Setelah merona ria, Thari akan selalu
mencari kesempatan yang tepat untuk balas dendam.
Tidak ada hari-hari dikelas XII IPA C tanpa
jeritan kesal Thari dan tawa jenaka Adi. Awalnya memang menyebalkan karena
terkadang jadi terlalu berisik, tapi lambat laun keributan itu menjadi hal yang
amat dirindukan semua murid kelas XII IPA C. Kalau salah satu dari mereka tidak
masuk sekolah, pasti selalu saja ada yang menanyakan. Jika Thari sakit demam
sehingga ingusnya meler kemana-mana dan tak bisa masuk sekolah, Adi selalu
ditanya, “Ke mana Thari?” dan Adi akan mengangkat bahunya sambil menjawab, “Tidak
tahu”. Begitu pula sebaliknya. Bila Adi sedang ada urusan keluarga yang
membuatnya harus pergi ke Bali selama satu minggu, Thari selalu ditanya, “Adi
ke mana?” dan Thari akan menghela napas sebelum menjawab, “Lagi nengok
keluarganya di Ragunan.” Tanpa sadar, Thari dan Adi sudah menjadi maskot kelas
itu.
“Adi!” seru Thari suatu ketika. Tangannya
memegang buku tulis fisikanya sementara wajahnya menunjukkan tampang kesal. Ia
berjalan mendekati Adi dengan langkah lebar-lebar.
Adi yang dipanggil, hanya nyengir melihat
Thari. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan Thari—dia benar-benar sudah hapal
betul. Kamu kan yang corat-coret buku
aku?!
“Kamu kan yang corat-coret buku aku?!” tuduh
Thari sambil menodongkan buku tulisnya.
Tuh kan, benar, batin Adi penuh kemenangan. Cengirannya
makin lebar dan dia mulai terkekeh puas. Diangkat kedua tangannya yang
membentuk huruf “V”.
“Cengar-cengir aja! Hapusin! Gak mau tau
pokoknya hapusin!” tuntut Thari semakin kesal sambil mengeluarkan penghapus
dari saku baju di dada kirinya.
Adi menerima penghapus itu dengan senang
hati. “Santai bro,” sahutnya santai
sambil menghapus maha karyanya.
Pulangnya, Adi dapat menemukan sampah bekas makanan
ringan di dalam tasnya. Dan Adi tahu benar siapa pelakunya. Siapa lagi kalau
bukan Thari?
Comments
Post a Comment