Kisah Mia dan Sang Pencuri

                Sore itu terasa berbeda dari sore-sore sebelumnya. Padahal, hujan turun sederas biasanya. Payung merah Mia terbuka, melindungi gadis kecil itu dari tetes hujan yang bisa memeluk tubuh ringkihnya kapan saja. Dia berdiam sebentar di peron bus, memandang korsase lili di saku kirinya barang sedetik sebelum akhirnya menyebrang jalan. Diam-diam, hati kecilnya tahu apa yang membuat sore itu lain dari semua sore yang sudah dilewatinya.

                Mia mendesah. Gang yang disusurinya semakin lama semakin terasa sempit, dinding-dinding kelabu di kanan kirinya semakin terlihat kasar. Mendung yang telah jadi hujan pun semakin menghitam. Mia harus bertahan dengan baju terusannya yang basah dan kotor karena becek. Tetapi tidak untuk lama, karena tempat jiwanya sempat tekait kuat kurang dari seribu langkah lagi.

                Mia tidak akan pernah menyangka kalau dirinya akan kembali ke pelabuhan diri itu. Ke alam di mana dulu raganya berteduh di bawah pelukan setengah lingkaran jingga, dengan sinarnya yang mengecup setiap sudut mata Mia memandang. Bila bisikan langit sudah menggelitik jendela suara Mia, Mia lalu tahu itu saatnya pulang, dengan membawa segala kehangatan dalam genggaman tangan kirinya. Terakhir kali dia berpaling pun, lengkungan dua tepi itu masih ada.

Lamunan Mia pecah; dia sudah sampai. Pagar hitam legam melintang dengan bau besi berkarat di udara. Pun terlihat mengecam, walau tak ada gagak atau elang, Mia tidak takut. Karena rumah hatinya berada di sana.

Mia berbisik permisi dalam hati sebelum membuka pelan-pelan gerbang menuju kunci nostalgianya. Mia mendengar besi-besi yang berdecit dibalik suara air pecah menabrak batu karang. Gemuruh ombak itu terdengar lagi. Terkadang, Mia merasa bisa menangkap bunyi deburan yang berada puluhan ratusan ribuan mil dari tempatnya berada. Jauh, jauh sekali di sana, tapi Mia dapat mendengarnya. Berkali dia pikir dia salah dengar, tapi Mia tak bisa menyanggah kalau dia memang mendengarnya.


 Seakan dirinya terus berjalan, Mia teringat akan awal kisah tentang jangkar hatinya. Di mana pada akhirnya, Mia berlama-lama memejamkan mata menikmati perahu yang berdiam karena arus yang tak ada. Pelan, pelan…. Tenang. Seperti itu. Namun kisah yang Mia anggap sudah berakhir ternyata terus berlanjut. Sampai sekarang, sampai detik ini, sampai dia kembali menemui setengah jiwanya kembali. Menemui dia yang meminjam banyak darinya dan tak memberikannya kembali. Sang Pencuri.

Mia menghela napasnya dan berjongkok. Memandang Sang Pencuri yang diam saja tak berkutik. Tertangkap basah dan tak bisa lari. Sekarang hendak ke mana dia bisa pergi? Mia sudah menemukannya dan dia hanya dapat terpaku tak tahu harus berbuat apa. Dirinya sudah tak mungkin kabur lagi, kan?

Mia memandangnya lama. Mengamati setiap lekuk yang ada dan meresapinya untuk mengingat tiap hari tanggal bulan tahun yang Mia yakini pernah ada walau tak nyata bukti sejarahnya. Semua digit yang membuat Mia senang sedih marah kesal dan seterusnya juga seterusnya begitu seterusnya bercampur aduk sampai Mia tidak tahu harus bersikap bagaimana.

“Sudah lama, ya,” Mia memulai. Dan dia pikir, ada gempa tadi. Gempa yang skalanya sangat kecil hingga tak seorang pun selain dirinya yang dapat menyadari.

Mia menggenggam payung meranya erat. Angin nyaris membawanya pergi, tapi tidak akan Mia serahkan. “Kamu tahu,” lanjutnya, sebelum berhenti dan terdiam. Jelas dia sedang berpikir keras tentang bagaimana harus melanjutkan. “Aku pikir aku tidak akan menemuimu lagi.”

“Pertama kali bertemu, kamu salah kostum. Di pesta pernikahan yang dipenuhi orang-orang berbaju putih, kamu yang memakai pakaian formal serba hitam terlihat sangat aneh berada di sana. Meski begitu, rambut hitammu yang sedikit panjang dibiarkan begitu saja, seakan menyisir rambut adalah hal yang paling sulit sedunia. Kupikir, aku tidak mau dekat-dekat denganmu. Tapi, kamu malah tersenyum dan menyapaku. Mengucapkan selamat untuk kakakku yang berhasil menggaet gadis secantik itu sebagai istrinya. Mungkin aku sial atau apa.” Mia memutar kedua bola matanya sambil tertawa sinis.

“Sejak itu, secara kebetulan, kita jadi sering bertemu. Dari supermarket, bioskop, sampai pameran buku. Berkali-kali aku bertemu dirimu, menatap matamu yang berwarna coklat terang di bawah sinar matahari, lagi dan lagi. Dan setiap kali, rambutmu yang semakin panjang itu masih saja berantakan. Saat dirimu datang ke salon tempatku bekerja, kamu bercanda, ‘Ini pasti takdir.’ Aku yang dulu pun beranggapan begitu. Maka ketika dirimu menanyakan nomor kontakku, aku berikan begitu saja. Lalu kita semakin sering bertemu, dan, yah… aku berbohong kalau waktu itu aku tidak senang. Senang sekali, malah.” Mia mengangkat kedua bahunya. “Aku benar-benar naif, ya.”

Mia berhenti ketika gempa itu terjadi lagi, kali ini makin besar dan makin mematikan. Tapi tidak cukup besar bagi orang lain untuk menyadarinya. Dan dari jauh sana, Mia kembali mendengar suara ombak yang lebih keras. Mungkin ada badai yang sedang terjadi di sana, sesuatu yang lebih berbahaya daripada hujan angin sore ini. Mia menggigit bibirnya seakan itu memberinya lebih banyak kekuatan dan memegang gagang payungnya lebih erat. Angin nyaris menerbangkannya lagi.

“Mungkin kamu lupa, tapi terakhir kali kita bertemu, dirimu salah kostum lagi—seperti pertemuan pertama kita. Di antara orang-orang yang berpakaian hitam, hanya kamu yang memakai kemeja putih. Di antara orang-orang yang sedang berduka, hanya kamu yang tersenyum tenang seakan berkata, ‘Tidak apa-apa, semua baik-baik saja.’ Aku tidak mengerti, apakah kamu sebodoh itu sampai tidak bisa membaca suasana yang jelas-jelas depresi begitu? Apanya yang ‘tidak apa-apa’?

“Tapi kutanya begitu pun, kamu tidak menjawabku. Walau kuburu dengan seribu ‘kenapa’ pun, kamu mendiamkanku. Walau kupanggil namamu dengan cara yang sangat kamu sukai pun, kamu tidak menggubrisku. Hari itu, kamu benar-benar mengabaikanku. Kamu hanya tersenyum bodoh, dengan setangkai bunga favoritmu di tangamu, seakan kamu adalah manusia paling bahagia di dunia.

“Setelah hari itu, kamu tidak pernah menghubungiku lagi. Berkali-kali pesanku tak dijawab dan teleponku tak diangkat. Datang ke tempatmu hanya untuk mendapati dirimu tak pernah ada di sana lagi. Hingga akhirnya tersadar bahwa dirimu adalah seorang pencuri. Kamu telah datang dan bersinggah dalam hidupku hanya  untuk mengambil semua yang berharga bagiku pergi. Meminjamnya untuk selamanya tanpa pernah mengembalikannya. Mencurinya dariku dan takkan pernah mengakuinya, karena bukti-bukti yang ada bisa jadi hanya delusi.”

Suara Mia terdengar penuh emosi. Sudah lama dia memendam hal semua—lama, lama sekali entah sejak kapan. Sempat terlupakan, tetapi ketika dia menemukan korsase lili itu dalam kotak aksesoris tuanya yang berdebu, Mia jadi teringat. Tentang segala hal yang dulu terjadi dan tentang Sang Pencuri. Mia telah datang untuk menuntut apa-apa yang harusnya menjadi miliknya. Namun, pertemuan ini lebih melelahkan daripada yang ia kira. 

Mia melonggarkan genggamannya dan memandang tetes-tetes hujan—yang turun dari payungnya, yang membasahi baju terusannya, yang mengembun di daun-daun, semuanya. Hujan tampak lebih ringan dibandingkan tadi, dan angin terkesan lebih bersahabat. Seakan berniat untuk menenangkan hati Mia atau mungkin hanya ingin mencuri dengar apa yang akan Mia katakan selanjutnya.

“Kamu pikir siapa dirimu, beraninya berbuat begitu padaku?”

Tak ada jawaban.

“Hei, kau dengar tidak, sih?”

Namun sekali lagi, tak ada jawaban.
 
Mia mendengus. “Aku seperti orang gila saja.”

Angin membelai pipi Mia lembut, menerbangkan rambutnya helai demi helai. Mencoba menariknya pergi dari sini karena jika Mia berlama-lama, mungkin Mia tak akan bisa kembali. Namun seingin apapun Mia pergi, keinginannya untuk bertahan di sini sampai  akhir jauh lebih besar. Mia tidak akan pergi sebelum dirinya mendapat apa yang diinginkannya. Menyerah, angin pergi meninggalkannya, dengan rasa sendu yang pahit sebagai jejaknya.

“Semua yang kau curi itu. Kuminta kembali pun tak akan kau kembalikan, kan?”

Mia mengambil napas dalam-dalam. Dilepasnya korsase lili dari saku kirinya. Menimang-nimangnya cukup lama lalu menatap Sang Pencuri yang diam membisu. Atau mungkin tuli. Atau entahlah, Mia memutuskan untuk tidak terlalu peduli lagi.

“Aku bukan pencuri sepertimu,” ucap Mia, menyerahkan korsase itu pada Sang Pencuri, “jadi aku akan mengembalikan ini. Maaf, kuambil karena kesal saat kita terakhir bertemu.”

Mia berdiri dan menatap samudra biru di atas sana. Tampaknya angin tadi telah membawa serta mendung entah ke mana karena sekarang, Mia dapat melihat bundaran itu bersinar silau di balik kapas-kapas raksasa. Setelah beberapa saat, Mia menutup payung merah besarnya.

“Terima kasih untuk selama ini, ya,” sahut Mia. Nadanya terkesan ambigu, entah itu sarkasme atau tulus. Diliriknya Sang Pencuri sambil mengusap kering air di wajahnya. Mia tidak tahu sejak kapan, tapi dua sungai sudah terbentuk menyusuri pipi Mia begitu Mia menyadarinya. Sepasang lensa hitam yang jadi muaranya pun terasa panas. Sudah lama sejak kali terakhir Mia merasa seperti itu.

Tanpa sepengetahuan Mia, sebuah senyum tersungging di bibirnya, berhasil melewati hutan rimba pendirian Mia yang teguh. Dan kali ini, siapa pun yang melihat senyumannya dapat tahu bahwa senyuman itu benar-benar datang dari lubuk hati Mia yang paling dalam. Jujur dan jujur.

“Selamat tinggal.”

Setelah berkata begitu, Mia menyeret malas payung merah besarnya pulang. Kembali menyusuri gang sempit yang tadi hampir memberinya klaustrophobia menuju jalan raya yang masih saja sepi. Kembali menyebrang jalan yang sedikit banjir menuju peron bus yang basah karena cipratan air. Kembali melihat saku kirinya yang sampai beberapa waktu lalu masih disemati korsase lili berwarna puth.

Mia menyaksikan lembayung yang mengingatkannya pada Sang Pencuri. Tentang kenangan dan janji dan dusta yang dikatakan. Tentang berapa kali Mia menolak realita dan memutuskan untuk tenggelam dalam delusi. Namun kali ini, setelah apa yang terasa bertahun-tahun lamanya, dia menerima sinar hangat itu dan memeluknya kembali.

Mia menyulam bulu matanya dan mengingat-ngigat sebuah lagu. Sebuah lagu yang tidak diketahui siapapun selain Mia dan Sang Pencuri. Sebuah lagu yang baik Mia maupun Sang Pencuri tahu pasti setiap liriknya.

 …Karena Orion telah bersaksi
Untuk kita yang merajut mimpi
Bila kita tak dapat kembali
Biar bintang-bintang yang temani
Namun biarkan aku berkata
Bahwa aku….”

Melodi itu berhenti. Tidak pernah terpikir oleh Mia bahwa ia akan menyanyikan lagu itu sampai akhir. Tapi, dia melanjutkan- dengan sebuah senyum yang masih terukir diwajahnya.

“Namun biarkan aku berkata
Bahwa aku benar cinta…”

Sore itu terasa berbeda. Entah karena hujan yang reda lebih cepat dari biasanya atau karena langit yang terlihat lebih indah dari biasanya. Hanya Mia yang tahu pasti mengapa. Dan dia, tidak memberi tahu siapapun mengapa.

Comments

  1. Wuuuuh terima kasih sudah memenuhi request-ku hehe. Maaf kalau merepotkan ya. Semoga seterusnya mendapat inspirasi2 yg dahsyat. Mendapat waktu luang untuk menulisnya. Mendapatkan pembaca2 yg setia untuk selalu mengapresiasi dgn membaca dan mengomentari :)) semangaaat!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihi, makasih, Dinar. :) Maaf juga request-nya cuma bisa terpenuhi sedikit. Habis bingung, sih. ^^; Heheee semoga ya, dapat pembaca setia. Aamiin. :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

boneforable (part 1)