Bethari (8) [Tamat]


source
8.

“Ri, ingat, ya. Pokoknya tahun ini kamu harus masuk perguruan tinggi. Saat ujian nanti kamu harus konsentrasi. Tidak ada alasan sedang patah hati lagi, oke?”

Tanpa memberi aba-aba lebih dahulu, tiba-tiba saja ibu Thari angkat bicara. Dan seperti biasa, pipi Thari merona di luar kendali—merah padam akibat malu. “Iya, iya,” Thari mencoba membalas dengan suara senormal mungkin.

Waktu itu malam, dan tiba-tiba saja angin menghembus ke dalam ruang tamu kediaman Anjali, membuat panas menghilang seketika. Di sana, ada Thari yang sedang mengerjakan soal-soal latihan ujian masuk perguruan tinggi dan ibunya yang membaca novelet di majalah favoritnya. Ah, bukankah hal ini terasa begitu familiar? Mungkin besok pagi akan hujan, pikir Thari. Kuharap besok hujan.

Hening sejenak. Thari mencari kata-kata yang ingin diucapkannya dan menatanya baik-baik di dalam pikiran. Ini topik yang harus dibahas dengan perhatian baik-baik, tidak boleh sembarang berkata.

“Bu, waktu itu Ibu pernah bilang kalau Adi hanya salah seorang, dan perjalanan Thari masih panjang, kan?” kali ini giliran Thari angkat bicara.

“Hm?” gumam ibunya malas, dengan seluruh perhatian terpusat pada paragraf-paragraf yang menceritakan tentang seorang gadis yang jatuh cinta pada pacar temannya.

“Menurut Thari, perkataan Ibu tidak salah,” tanggap Thari serius. Dia tersenyum. “Tapi bukan berarti Ibu benar. Adi memang hanya salah seorang di hidup Thari, dan mungkin Thari sudah salah melewatkan banyak ‘salah seorang’ yang lebih baik di hidup Thari—”

“—Seperti Radja?” potong Ibunya, iseng.

Pipi Thari merona. “I- iya, seperti Radja—tapi itu kan lain cerita, Bu…. Lagian, Dewi suka Radja! …Sepertinya. Pokoknya, mana mungkin Thari bisa—”

“Pfft—Ibu hanya bercanda. Jadi? Apa yang sebenarnya ingin Thari katakan, hm?” Ibunya melirik Thari dengan rasa ingin tahu. Sebuah senyum manis tersungging di bibirnya.

Thari tertegun ragu sebentar sebelum melanjutkan perkataannya. “Thari cuma ingin bilang… meski Adi hanya salah seorang di kehidupan Thari, tapi bagi Thari, Adi adalah ‘salah seorang’ yang sangat spesial.”

“Oh, begitu….” Ibunya manggut-manggut sambil kembali membaca noveletnya.

“Kok cuma ‘oh, begitu’, sih, Bu?” Thari sedikit kecewa dengan respon ibunya yang acuh tak acuh.

“Tidak ada gunanya mengatakan hal itu pada Ibu, Thari. Bukankah sebaiknya Thari mengatakannya langsung pada Adi?”

Thari tersenyum getir dan berkata, “Mungkin memang harusnya begitu.” Dia berpangku tangan. Pikirannya melayang, kembali pada saat waktu terakhir kali mereka bertatap muka.

Saat itu, Adi berjanji akan mengontak Thari begitu sampai di Singapura dengan selamat. Adi menepati janjinya. Malam hari, dikirimnya sebuah pesan singkat untuk Thari, tidak lupa dengan foto dirinya sendiri yang sedang membuat lambang peace dengan tangan kirinya. Thari tertawa. Dibalasnya dengan foto dirinya sendiri yang sedang membuat wajah yang kata Adi, paling konyol sedunia.

Esoknya, Adi tanyakan kabar Thari, sedang apa? Dan Thari menjawab sekenanya. Rasanya aneh menghubungimu seperti ini, tulisnya.

Beberapa hari kemudian, giliran Thari yang menanyakan apa yang sedang Adi lakukan di Singapura. Adi bilang, sedang belajar main gitar pada teman barunya. Dikirimnya voice note untuk Thari. Dimainkannya lagu cinta yang saat itu sangat sering diputar di radio. Thari balas, aku gak tau suaramu sejelek itu. :p

Hal ini terus berulang. Berulang, berulang, dan berulang…. Hingga suatu ketika, mereka terlalu sibuk dengan dunianya sendiri untuk menghubungi satu sama lain. Jarak telah merenggangkan persahabatan mereka berdua. Bagi keduanya, mungkin tidak ada cara untuk kembali seperti dulu. Apa boleh buat? Keduanya saling mengasingkan dan merasa terasingkan. Orang bilang, teknologi mendekatkan yang jauh. Tapi sepertinya, kebalikannya malah terjadi pada Thari dan Adi.

Thari menghela napasnya. Diletakkannya kepalanya di atas meja. Terkadang, kalau ingat betapa tali hubungannya dengan Adi nyaris putus, dadanya akan terasa sesak. Terlalu sesak, sampai susah sekali bernapas. Sampai Dewi berkata, “kau seperti ingin menangis.” Dan Thari akan membantahnya habis-habisan, dengan menjawab bahwa dirinya sedang terkena penyakit flu atau semacamnya. Setelah itu, dia akan meminta Dewi untuk pergi karena takut menularinya. Tapi, keduanya tahu kan, bahwa itu bukanlah yang sebenarnya?

Malam itu sedikit panas, tapi angin yang menyelundup masuk kediaman Anjali mengusirnya seketika. Di saat itu pula, HP Thari berbunyi. Ada pesan singkat yang masuk. Awalnya Thari tidak menggubrisnya. Tapi ketika bunyinya tidak kunjung berhenti, Thari menyerah. Dengan malas, Thari meraih HP touch screen-nya dan tak kuasa menahan rasa terkejutnya. Siapa sangka Adi panjang umur?

Hai Thari
Kamu apa kabar, nih?
Liburan kali ini aku bakal balik ke Indo, btw.
Kita ketemuan, yuk.
Udah lama, kan. :)

Comments

Popular posts from this blog

boneforable (part 1)