Bethari (7)

source

7.

“Thari, kamu tau, gak?” tanya Adi sambil menatap mangkuk buburnya yang masih penuh, “meskipun kita kerjaannya berantem terus, mungkin kamu orang yang paling deket sama aku.” Thari tersedak. Adi mengangkat kepalanya, cengiran khasnya tersungging bangga di wajahnya. “Dih, segitu kagetnya? Lagian—“

Thari mengangkat tangan kirinya, menyuruh Adi berhenti berbicara. Tangan kanannya sibuk memegang gelas teh manis yang baru saja diteguknya. “Uh, stop. Aku kan udah bilang, jangan sok sentimental!”

Adi terkekeh.

“Aku serius!”

Tawa Adi perlahan berubah menjadi seringai. Dia mulai menyantap buburnya. Setelah satu-dua suapan, Adi berceletuk, “Aku juga serius.”

“Duh, please!” Thari memutar kedua bola matanya. “Nggak usah bilang gitu juga aku udah tau, kali.”

Adi tidak membalas perkataan Thari dan hanya memandang mangkuk buburnya, kini sedikit lebih kosong. Seringainya tadi berubah jadi senyum halus. “Gitu, ya?” Nadanya sedikit berbeda dari biasanya.

Wajah Thari merona. Mulutnya membuka-tutup, mencari kata-kata untuk mencairkan suasana, tapi yang ia temukan hanyalah angin semata. Ribuat tanya muncul tak henti di kepalanya. Ada apa? Adi kenapa, sih? Tapi tak satupun keluar dari mulutnya.

Canggung.

Kebisingan di warung bubur pinggir jalan itu jadi nihil. Yang terdengar bagi mereka hanya bunyi klontang-klontang sendok dan mangkuk, dan helaan nafas mereka, dan degup jantung mereka. Hanya itu dan dunia serasa milik berdua. Serasa milik berdua, begitu luas dan sempit di saat yang bersamaan.

Hening.

Sisa pagi terasa begitu suram. Keduanya tenggelam di dalam pikirannya masing-masing. Bertanya-tanya akan pertanyaan yang tak bisa terjawab bila tak ditanyakan. Bahkan ketika mangkok bubur dan gelas teh manis telah menjadi mangkok dan gelas saja, mereka tetap diam. Dan perjalanan pulang pun terasa lambat dan menyakitkan—hingga Adi dan Thari sampai di persimpangan jalan, tempat mereka biasa berpisah.

“Dah, Adi,” kata Thari, sambil melambaikan tangannya, ketika Adi berjalan pergi. Entah kenapa, tiba-tiba saja muncul pikiran bahwa meski dirinya selalu bertengkar dengan Adi, dia pasti akan merindukan sosok jahil itu. Tapi Thari tidak mengerti alasannya.

Dirinya terdiam, memandang punggung Adi yang makin lama makin mejauh. Rasanya ingin memanggil Adi agar ia berhenti sejenak dan menoleh kembali. Tapi untuk apa?

Tapi tanpa disangka-sangka, Adi berbalik arah. “Lupa,” sahutnya. Dia berlari-lari kecil menghampiri Thari, memberinya sebuah amplop, dan menatap kedua mata Thari lekat-lekat. “Jangan dibaca. Simpan aja di kamar. Bacanya nanti, kapan-kapan kalau kamu udah lupa. Oke?”

“Hah?” Kedua alis Thari berkerut, tanda tak mengerti. Pikirannya masih kalut.

“Aku tau ini nonsense, tapi kamu harus janji sama aku.”

Thari mengangkat kedua bahunya, tidak tertarik untuk beradu mulut tentang keinginan Adi yang tidak masuk akal. “Iya, terserah. Aku janji.”

Adi memandang Thari lama. Thari tidak memandang Adi, lama.

“Aku juga janji bakal langsung kontak kamu begitu landing.”

Thari memutar kedua bola matanya. “Dasar melankolis!” seru Thari sambil mendorong Adi ringan. Adi tertawa.

Mereka berkata selamat tinggal lagi. Yang satu dengan sampai jumpa, yang satu tanpa sampai jumpa. Lalu, Adi tersenyum dan melangkah pergi. Kali ini, tanpa berbalik kembali.

Kali ini, Thari juga berjalan pulang.

Bisa jadi ini adalah terakhir kalinya Thari bertemu Adi. UAS, UN, dan wisuda—semua sudah dilewati. Janji Adi untuk mentraktir Thari juga sudah terpenuhi. Liburan sudah mulai dan semua orang akan sibuk dengan caranya sendiri.

Thari memandang amplop putih di tangannya. Memeriksanya depan belakang, polos. Menimang-nimangnya, sedikit berat. Menerawangnya, mencoba melihat isinya., tapi yang Thari dapat hanyalah bayangan berbentuk segi empat. Thari tergoda untuk merobek dan membaca surat Adi saat itu juga, tapi Thari telah berjanji. Dan Thari memegang erat janjinya.

Thari menoleh ke belakang. Entah apa yang dia harapkan dari pemandangan kompleks biasanya. Dilihatnya langit, di mana matahari bersinar begitu terang hingga menyilaukan mata. Thari menyipitkan matanya. Memikirkan sesuatu yang tak seorangpun tahu selain dirinya.

Muka Thari berubah masam. Mulutnya cemberut dan alisnya berkerut. Tidak pernah terbayangkan olehnya untuk pergi ke kampus yang berbeda dengan Adi. Dirinya jadi bingung sendiri. Padahal dulu sebelum Thari mengenal Adi, Thari bisa pergi ke sekolah seperti biasa. Tapi kalau masa kuliah nanti harus berpisah dengan Adi, rasanya….

Thari menggelengkan kepalanya. Harusnya ia senang, manusia yang sering kali ia panggil setan itu akan pergi jauh, mungkin takkan kembali untuk waktu yang lama.

Seharusnya begitu.

Tapi, mungkin Thari menyukai Adi lebih dari yang ia kira.

Comments

Popular posts from this blog

boneforable (part 1)