Bethari (6)
source |
6.
Yang
namanya kehidupan, pasti ada yang namanya “pertemuan” dan “perpisahan”, kan? Tapi
Thari tidak bisa percaya. Tidak, Thari tidak
mau percaya—senyata apapun yang sedang dialaminya sekarang. Tidak tidak tidak tidak tidak. Satu kata
itu berputar kencang di kepalanya. Berkali-kali Thari meyakinkan dirinya; ini
mimpi, hanya sebuah mimpi buruk yang kalau lengannya dicubit, pasti akan segera
terbangun karena sakit. Tapi semakin Thari mencoba untuk membangunkan dirinya, semakin
merah pula lengannya. Sakit. Ini bukan mimpi. Thari berharap yang tidak
mungkin.
Sosok Adi di depannya tak bisa
lagi menahan senyumnya begitu melihat ekspresi Thari yang terluka. Tidak rela.
Keduanya tidak rela. Tapi apa mau dikata bila takdir sudah tersurat? Ingin
sekali mereka menangis saat itu, tapi tidak. Mereka tidak menangis. Tidak ada
gunanya. Mereka tidak selemah itu. Mereka kuat.
Thari dengan bersusah payah mencoba tersenyum. “Be- begitu, ya?” ucapnya
asal dengan suara bergetar. “Wa- wah, asik, dong. Gak bakal ada yang gangguin
aku lagi.” Thari berusaha keras untuk menjadi Thari yang biasanya. Thari yang
selalu ceria dan cuek. Ya, Thari yang seperti itu.
Mendengar Thari, Adi pun berusaha menjadi Adi yang biasanya. Adi yang
jahil dan menyebalkan tapi menyenangkan. Ya, Adi yang seperti itu. “Iya, aku
juga gak bakal ngeliat makhluk jadi-jadian kayak kamu tiap hari lagi.”
Cukup. Sudah cukup.
“Dasar gila.”
“Bodoh.”
“Idiot.”
“Oon.”
“Monyet.”
“Kok monyet?! Dasar gorila!”
Mereka terus mengejek satu sama lain sebelum akhirnya pecah dalam
tertawa. Keras, keras sekali. Keduanya tertawa terbahak-bahak lama. Saking
lamanya, siapa pun yang melihat mereka bisa saja menyangka mereka sakit jiwa.
Apalagi begitu tawa Thari berubah jadi tangisan.
“Tha- Thari?” tanya Adi kewalahan. Tangisan anak perempuan adalah
kelemahannya—apalagi jika yang menangis itu adalah gadis yang disayanginya.
Nada khawatir dari Adi hanya membuat tangisan Thari semakin menjadi-jadi.
Aah, kapan lagi Thari bisa mendengar nada itu jika nanti Adi pergi? Ya, pergi
jauh…. Thari tidak mau membayangkan itu.
“Ku- kukira kau akan melanjutkan ke kampus yang sama denganku…,” ujar
Thari di sela-sela tangis yang mulai reda.
Tak enak hati, Adi hanya bisa mengeluarkan satu kata dari mulutnya. “…Maaf.
Ini di luar kendaliku—kamu tahu kan Ayahku—”
“Bodoh, gak usah minta maaf!”
Mendengar kata maaf dari mulut Adi adalah sesuatu yang sangat jarang.
Tapi Thari tidak pernah ingin mendengarnya di kondisi seperti ini.
“Aku akan kirim surat,” janji Adi.
Thari mendengus meremehkan. “Masih jaman kirim surat?”
“… Kau tidak romantis.”
“Kau banci.”
“Terserah, deh.”
Hening yang canggung.
Thari sudah tidak tahu haruskah dia melanjutkan argumentasi tidak
bergunanya, tertawa, atau bahkan kembali menangis. Begitu juga dengan Adi.
Bertengkar sudah seperti refleks bagi keduanya. Bagaikan sesuatu yang sudah
diatur secara otomatis, adu mulut adalah hal yang tak bisa dihindari lagi.
Bahkan di saat yang seperti ini….
“Hei.” Suara Adi memecah keheningan. Hanya gumaman tidak niat yang dia
dapat sebagai jawabannya. Setelah menghela napasnya dengan malas, Adi berkata, “Aku
benar-benar berjanji. Kirim surat, SMS, atau bahkan telepon. Aku janji akan
tetap kontak sama kamu. Sekarang teknologi sudah canggih, kita gak bakal
semudah itu hilang kontak.” Dan sekali lagi, Adi hanya mendapat gumaman tidak
niat dari Thari sebagai jawabanya. Mengacak-ngacak rambutnya sendiri dengan
frustasi, dia menoleh pada Thari.
Thari. Bethari Anjali. Gadis bernama unik itu berdiri tak jauh darinya,
dengan kepala menunduk ke bawah. Matahari terbenam bersinar di belakangnya,
membuat gadis itu terlihat begitu silau di mata Adi.
“Oi,” panggil Adi. “Aku serius. Jangan ngambek.”
“Hmm,” gumam Thari untuk yang kesekian kalinya.
Sebenarnya, Adi tidak begitu masalah jika Thari hanya menjawab semua
perkataannya dengan gumaman malas seperti itu. Toh, dia berhak marah. Tapi,
nada gumaman Thari yang datar membuat Adi tidak bisa membaca perasaan Thari. Sejak kapan Thari jadi tidak transparan
lagi?
Kehabisan akal, Adi mengeluarkan jurus terakhirnya. “Aku traktir kamu
Bubur Mas Obed, deh.”
“Benar?” Akhirnya Thari menanggapi Adi dengan serius.
Adi menyinggungkan senyumnya. Always
works everytimes.
Comments
Post a Comment