Dia

Kusapa sore hari dengan rasa letih, namun tetap bersemangat. Bertanya-tanya apa yang telah terjadi selama aku pergi tidak kurang dari dua jam. Membayangkan lampu-lampu cahaya kecil-kecil yang bernyala-nyala.

Nyaris tersenyum.

Tapi lalu kutatap dirinya, yang menatap ke kejauhan sambil memikirkan entah apa. Kantung mata akibat tidak tidur dengan benar selama beberapa minggu terakhir adalah saksi bisu dedikasinya—bahkan sampai sekarang. Dia diam; sangat diam tak bersuara di singgasananya dan aku tak tahan melihatnya terus mengigiti kuku jarinya dengan begitu gugup menanti.

Padahal dia tidak perlu begitu. Dia sudah berusaha begitu keras. Aku sudah menonton kisah perjuangannya walau  tidak lengkap dari awal. Tapi akan kupastikan untuk menonton episode kali ini hingga akhir.

Kutarik tangannya, jangan sampai dia merusak dirinya sendiri karena aku takkan sanggup memperbaikinya—karena aku bukan siapa-siapa. Namun dia tidak menggubrisku dan kembali menggigiti kuku jarinya. Masih menanti dengan gugup dan harap-harap cemas; takut akan mengecewakan semuanya.

Padahal dia benar-benar tidak perlu begitu. Tidak perlu merasa setakut itu. Melihat paras lelahnya, kupikir aku akan menangis. Dia terlihat terlalu lesu dan aku merasa tak berguna karena aku tak bisa melakukan apapun untuk membantunya.

Ketika melihat hasil jerih payahnya pun, aku hanya bisa tersenyum sambil menyembunyikan rasa kagum dan haru. Merekam semuanya dengan kedua mataku agar aku bisa mengingat-ngingatnya kembali nanti. Agar aku tidak lupa akan semuanya ketika rambutku sudah beruban dan tidak bertemu dengannya kembali untuk waktu yang sangat lama.

Semua bersorak-sorai, merayakan hasil karyanya. Menepuk bahunya, memberi selamat. Berjabat tangan, cengiran gembira di muka. Dan aku pun turut bahagia. Dan kucuri pandang padanya dan kupikir dirinya akhirnya tersenyum. Oh Tuhan, apakah benar itu senyuman?

Syukurlah.

Aku tersenyum.

---
ditulis pada 19 September 2015, tengah malam
saat euforia musik pop, kembang api, dan tepuk tangan
masih terbayang-bayang begitu jelas di belakang kepala

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

boneforable (part 1)