Bethari (5)
An Apple a Day Keeps The Doctor Away |
5.
“Hei Thari,”
sapa Adi sambil duduk di depan Thari.
Thari hanya bisa mengangguk. Mulutnya masih penuh dengan suapan bubur
ayam Bang Santo. Bukan, bukan berarti dia meninggalkan Mas Obed dan bubur
ayamnya. Saat Adi bersikukuh mengatakan bahwa bubur ayam Bang Santo lebih enak,
mereka sepakat untuk mengadukan rasa bubur ayamnya. Tapi mereka malah berjalan ke arah warung yang
sama. Mereka sempat ribut, tapi Mas Obed yang segera melerai mereka. Di sana
Mas Obed menjelaskan bahwa Mas Obed dan Bang Santo adalah mitra kerja. Bergantian,
mereka menjaga warung itu. Kesimpulannya adalah: Mas Obed = Bang Santo = bubur
ayam paling enak. Kebetulan saja Adi selalu datang saat giliran Bang Santo dan
Thari selalu datang saat giliran Mas Obed. Dengan begitu, masalah
terselesaikan.
Adi memandang Thari ragu-ragu. Sadar dipandangi, Thari akhirnya angkat
bicara.
“A- apa?”
Adi hanya terkekeh. “Gak apa-apa.”
“Gak mungkin banget. Kamu tuh
bukan tipe orang yang suka mandangin orang tanpa alasan gak jelas, tahu.”
“You know me so well,” timpal
Adi sebelum terkekeh lagi. “Itu, ada bubur nempel di dekat mulutmu.”
Pipi Thari memerah dan Thari mulai membuka tutup mulutnya. Sebelum Thari
sempat mengelap mulutnya, Adi berkata,
“Bohong, kok.”
“ADIII!” jerit Thari kesal sambil menggebrak meja pelan—mengagetkan
seluruh pelanggan yang ada di situ. “A- ah, maaf.”
Untuk kesekian kalinya, Adi terkekeh senang. Thari hanya bisa bergerutu
kesal—lihat saja nanti. Melihat
ekspresi kesal Thari, Adi tersenyum. Ah, betapa nantinya ia akan merindukan
wajah kesal itu. Wajah yang menyebalkan nan manis itu. Wajah yang….
“Oi, Adi kamu ngedengerin, gak, sih? Kamu ngelamun, ya?” tanya Thari
menyadarkan lamunan Adi.
“E- eh, iya?” balas Adi seadanya.
“Jadi, ada apa?” tanya Thari dengan keras kepala.
“Gak ada apa-apa.”
“Bohongnya….” Setelah berkata begitu, Thari menyuapkan suapan terakhir
buburnya dan menghela napas. “Kau.” Thari menunjuk Adi dengan sendoknya.
“Pembohong.”
Sebenarnya, percakapan seperti ini sudah sering kali diulang. Bagai loop yang tidak ada hentinya, percakapan
ini menjadi de javu bagi keduanya. Ah,
tapi apa peduli mereka? Selama mereka bisa berbicara dengan satu sama lain,
menatap satu sama lain dengan tatapan yang jenaka….
Adi kembali terkekeh. “Iya, yang itu memang bohong.”
Jawaban itu lagi.
Adi, cowok itu punya banyak teman. Ah, tapi Thari tahu satu hal. Dari
selautan teman itu, tidak ada satu pun yang benar-benar dekat dengannya. Mungkin
yang lain tidak menyadarinya, tapi Thari tahu hal itu. Thari sadar bahwa Adi
tidak pernah benar-benar menceritakan dirinya. Thari sadar bahwa setiap
percakapannya dengan Adi, mereka selalu membahas tentang Thari atau hal-hal
yang tidak penting. Entah kenapa, diam-diam hal itu membuat Thari sedih dan
kesepian. Tapi, tidak mungkin Thari mengatakannya, kan?
Bahkan kali ini juga. Ketika Thari dengan serius menanyakan “ada apa”,
Adi menjawab “tidak apa-apa”. Dan ketika Thari membalasnya dengan “kau pasti
bohong”, Adi hanya membalas “memang bohong”. Selanjutnya, hanya ada hening yang
canggung. Betapa bencinya Thari pada keheningan seperti itu. Rasanya seperti
menjadi tontonan alam yang wajib ditertawakan.
Ah, Adi. Seandainya kau mau membuka hatimu sedikit saja.
Ah, Thari. Seandainya kau bisa lebih berani sedikit saja.
Kenapa manusia begitu rumit, ya? Aku tak mengerti.
Comments
Post a Comment