Kalau boleh. Kalau. … Satu. Dua. Tiga. … Tidak berjalan. Lagi, kembali diputar. Sekrup emas milikku. Tapi, tak ada yang berubah. … Aku tak boleh percaya. Meski bukti sudah di depan mata, aku tak boleh percaya. Karena aku baru melihatnya, bukan merasa. Takdir yang tertulis di garis tanganku adalah kebutaan. Sementara apa yang kulakukan sehari-hari hanyalah kebisuan. Tersenyum, menanis, dan amarah merupakan keheningan. Karena terus memasang topeng, aku bisa tertawa—menertawakannya. Tapi apa yang sebenarnya kurasa? … Kalau bisa meminta kesempatan kedua, aku mungkin tak akan mengambilnya. Karena aku adalah aku, apa yang aku lakukan di masa lalu membuatku seperti ini. Menikmati mimpi yang sementara, terus berjalan di antara tuts-tuts kehidupan. Mencoba melompat, tapi akhirnya jatuh terperosok. Menari, dan ujung-ujungnya aku menabrak tembok karena tidak melihat ke arah mana aku berlari. Langit yang sama, awan ...
Bukan masalah pantas atau tak pantas.
ReplyDeleteKarena pada akhirnya ini hanya soal seberapa lama kita mampu menahan rindu.
Kalau terlalu lama menunggu, bukannya jadi buang waktu?
Deletesecara logika, ya. tapi untuk orang yg merindu, apa sih logika itu.
ReplyDeleteMemang benar, sih. Kalau rasanya sudah tak terperi lagi, sampai mati pun akan tetap menunggu.
DeleteSensitif bahas yg beginian. Tiap orang punya keputusan. Sebagian dari mereka menunggu, tapi dalam keputusasaan. Ah ya ampun, cuma beda 1 huruf.
ReplyDeleteTentang keputusan dan keputusasaan, ya. Kalau pun mau dilepas, rasanya pasti berat- sudah terlanjur lama menunggu.
DeleteDan inilah bukti keputusanmu untuk bertahan, kan..
ReplyDeleteDengan komentar yg sekarang sudah makin banyak?