Kak....
Kak, pengalaman ajarkanku untuk tidak berharap terlalu
banyak. Harus kubilang, ia benar. Rasa kecewa dan penyesalan adalah racun yang
lebih berbahaya dari bahan kimia. Ketika satu sudah bertumpuk, maka matilah
kita.
“Aku ingin mati.”
Begitulah adanya.
Kak, kadang aku berpikir. Apa gunanya diriku di dunia ini
bila pada akhirnya aku akan selalu dikecewakan? Untuk jadi kuat? Mengapa diriku
harus jadi seorang yang kuat? Apa yang salah dengan seorang yang lemah?
Hatiku adalah hatiku yang rapuh. Ia bagaikan benda pecah
belah, yang bila disenggol sedikit saja bisa jatuh lalu hancur berkeping-keping.
Patahkan lah hatiku, dan yang akan kau lihat hanyalah debu. Yang lama-lama
terbang ditiup angin, tersebar di mana-mana… dan pada akhirnya pun terlupakan.
Kak, aku lelah. Impianku pecah. Mimpi yang kugantungkan
sebagai tombak hidupku pun musnah. Diriku sudah mati, bahkan sebelum kematian
itu sendiri menjemputku.
Ketika diriku ingin cepat-cepat berserah diri padaNya, rasanya
kematian sendiri malah kabur dariku.
“Bukan waktunya,” kata Kematian padaku saat diriku berada
tepat di depan rumahnya. Dia mengusirku. Ha, lihatlah Kak. Bahkan kematian pun
tak menginginkanku.
Kak, mimpilah setinggi-tingginya, lalu terjun bebas memeluk
gaya Newton bersamaku. Lupakan semua nostalgia yang tinggal sejarah. Mari berdansa
di taman cinta dengan musik waltz
sebagai pengiringnya.
Kita lupakan segalanya. Ya?
… Kak, maaf. Aku tidak menyesal aku pergi.
Comments
Post a Comment