'Bahagia'
Betapa senang—ralat, betapa bahagianya diriku. Tanganku mengetik dengan lancarnya, tanpa
tergagap-gagap seperti biasa. Sementara ide di otakku, yang sudah berlama-lama
berdiam diri disana, menyembunyikan dirinya sendiri, enggan keluar, kini berani
melihat cahaya komputerku.
Betapa senang—bahagianya.
Sudah berapa lamakah aku tak merasakannya? Rasa senang yang sering kurasakan,
tak pernah sebesar ini. Bahagia. Bahagia. Bahagia.
Kata ‘aku bahagia’ sedikit terlalu tinggi, tapi tetap, bahagia. Bukan ‘aku bahagia’, tapi rasa
‘bahagia’ itu ada di dalam diriku. Menjelajahi tiap sudut otakku, membuat aura
positif selama perjalanannya berlangsung. Kuharap, perjalanannya masih lama,
atau bahkan tak pernah selesai. Memang, sih, agak sakit untuknya, terus
berkelana tanpa tujuan. Tapi, hei, jika ia terus berpetualang, ia akan punya
banyak cerita untuk diceritakan, kan? Ceritakanlah kisahmu, wahai bahagia. Aku
akan mencoba menjadi pendengar yang baik, sehingga kau akan merasa sayang
padaku. Dan puas karenanya, sehingga kau terus akan bersamaku.
.
Hei, ‘bahagia’. Mengapa kau tak pernah terasa pada setiap
saat, untuk setiap orang? Padahal, jika hal itu terjadi, dunia akan menjadi
sedikit—ah, tidak, aku terlalu meremehkanmu, bahagia. Jika hal itu terjadi,
dunia akan jauh lebih mudah dari
sebelumnya.
Eh, apa? Ah… mungkin kau benar. Kebahagiaan yang terus
berlangsung, akan membuat dunia menjadi datar dan membosankan. Hmm, mungkin,
kau setidaknya harus datang 23 jam per hari? Kau masih bisa beristirahat satu
jam, kan?
Tidak mungkin? Mengapa? Capai? Ternyata, menjadi bahagia
itu juga mencapaikan, ya?
Oh… aku mengerti. Jika setiap saat kita merasakan
bahagia, dan pada suatu hari, ketika rasa itu akhirnya berkhianat, kita akan
merasakan sakit, ya. Sakit seperti apa?
Ah, kau tak mau cerita. Ya, sudah. Lain kali saja.
.
Ah, halo, ‘bahagia’. Maukah kau berbincang denganku,
walaupun sebentar? Sepertinya, tiap kali kuberbicara denganmu, kau membuat
hatiku terasa ringan, ya? Apa kau merasakan hal yang sama denganku? Jika kau
berbicara denganku, ah, bukan hanya denganku, dengan siapapun! Apa kau, yang
bernama ‘bahagia’ juga merasa bahagia? Jika iya, syukurlah. Setidaknya, jika
aku bahagia, aku tak ingin bahagia sendiri di dunia ini.
Sudah mau pergi? Baiklah. Sampai jumpa.
.
‘Bahagia’! Sudah lama aku tak berjumpa denganmu. Adikmu,
‘senang’, kerap kali menghubungiku, mengajakku makan di kafe-kafe, mengajakku
membaca buku di perpustakaan, mengajakku bermain di taman. Haha. Ya, aku
menyukainya. Tapi, oh, bahagia. Aku lebih menyukaimu. Lebih dari apapun.
Ayolah. Kau tak perlu tersipu malu begitu. Kita ini sudah
seperti sahabat, kan?
.
‘Bahagia’…. Aku rindu kamu. Dimana dirimu?
.
.
.
Hari ini, kutemukan ‘bahagia’ sedang tertidur dengan luka
diseluruh bagian ‘tubuh’-nya. Berapa kalipun aku menggoncangkannya, ia tetap
tak bangun. Tapi ‘bahagia’ itu tersenyum dan berkata:
“Kau dan aku…”
“…sudah…”
“…bahagia…”
Hening. Aku tak mengerti apa yang diucapkannya. Sementara
angin bertiup dengan dramatiknya, aku tak yakin apa itu yang mengalir di
‘mata’-nya.
“Kau…”
“…bukan ‘bahagia’ lagi…”
“…tapi kau bahagia…”
Setelah itu, aku bisa merasakan perasaan yang aneh
memasuki tubuhku. Merayapi diriku. Apa maksud ‘bahagia’ tadi? Tapi seiring itu,
aku bisa merasakan sesuatu jatuh dari mataku. Bukan karena sedih, tapi karena
aku bahagia.
“Aku… bahagia?”
Dan sedetik kemudian, aku hanya bisa meneriakkan namanya.
Dirinya telah tertidur lelap. Pergi ke tempat yang tak bisa kuraih.
Tapi aku tak menyesali kepergiannya. Kadang, kepergian
seseorang bisa membuat kita lebih, bahagia.
Sementara angin berhembus, meniupkan sejuta memori yang
tak kulupa, aku dapat merasakannya.
Aku bahagia.
Tapi, disaat yang bersamaan, aku merasa sakit.
-hanya sebuah catatan tidak jelas tentang kata yang sangat sulit untuk
dirasakan-
Bahagia.... Lalalala... Bahagia seperti definisinya oleh Raditya Dika... :D
ReplyDelete^
ReplyDeletenamamu. Taufiq, kan? ;)
O, ya, Fiq, kamu punya bukunya Raditya Dika? Yang Marmut Merah Jambu? (namanya itu, kan? -_-")